
Riauterkini-SENTANI - Masyarakat Adat Sentani hari ini menyelenggarakan Festival Sagu keduanya untuk menampilkan inovasi pengolahan sagu dan produk turunannya di Desa Babrongko. Festival ini merupakan festival pertama yang diselenggarakan oleh Masyarakat Adat Babrongko, dengan dukungan Kementerian Pertanian Indonesia, Kedutaan Besar Selandia Baru untuk Indonesia melalui Head of Embassy Fund (HEF), dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Festival ini menampilkan demonstrasi pengolahan sagu oleh Masyarakat Adat menggunakan mesin di rumah produksi sagu berskala kecil yang telah dibangun di Desa Adat Babrongko dengan dukungan Kementerian Pertanian, Kedutaan Besar Selandia Baru, dan FAO. Dengan mesin tersebut, masyarakat dapat mengolah sagu menjadi pati dalam waktu dua jam per batang, dibandingkan dengan dua hari secara manual, dan menikmati peningkatan hasil panen hingga 150%.
Festival dibuka dengan serah terima unit pengolahan sagu dari Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Phillip Taula dan Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor-Leste Rajendra Aryal kepada Bupati Jayapura Yunus Wonda dan tokoh adat Yo Ondofolo Babrongko Ramses Wally yang menandai kepemilikan Masyarakat Adat atas fasilitas tersebut.
“Kami menamakan fasilitas ini Holei Nyarei, yang berarti memberi kehidupan kepada masyarakat. Dengan fasilitas ini, kami dapat memproduksi hingga 20 karung tepung sagu, lebih banyak daripada enam karung dengan pengolahan manual. Hasilnya, penduduk setempat dapat meningkatkan pendapatan mereka, membayar biaya sekolah anak-anak mereka, serta biaya pengobatan mereka,” kata Yo Ondofolo Babrongko Ramses Wally.
Papua memiliki hutan sagu terbesar kedua di Indonesia, tetapi pengolahan sagu secara manual dan memakan waktu telah membatasi kontribusinya terhadap perekonomian lokal. Provinsi ini mencatat indeks ketahanan pangan terendah di Indonesia, yang menunjukkan kebutuhan mendesak akan solusi lokal.
“Kementerian Pertanian terus mendukung peningkatan nilai tambah bagi petani. Inisiatif Babrongko menunjukkan bahwa pemberdayaan Masyarakat Adat melalui teknologi dan pelatihan yang tepat dapat meningkatkan taraf hidup petani sekaligus memperkuat ketahanan pangan. Kami berharap kolaborasi ini akan semakin mendorong hilirisasi sagu yang berkelanjutan dan menginspirasi daerah lain di Indonesia untuk berkontribusi pada ketahanan pangan nasional,” ujar Elvyrisma Nainggolan, Kepala Divisi Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Festival ini juga mempromosikan beragam produk berbasis sagu, mulai dari yang lebih tradisional seperti papeda hingga produk bernilai tambah seperti mi, beras analog, kue, dan bahkan es krim. Produk-produk tersebut diproduksi oleh para perempuan adat setelah mereka mengikuti pelatihan tentang diversifikasi dan pemasaran produk yang diselenggarakan oleh FAO dan organisasi lokal Analisis Papua Strategis – Pusat Studi Pembangunan dan Global (APS CDGS).
Guna mendukung hilirisasi sagu lebih lanjut, pertukaran pengetahuan dan jaringan pasar juga telah difasilitasi dengan universitas, pihak swasta, dan dinas perkebunan setempat.
Festival hari ini adalah yang kedua setelah Festival Sagu yang diselenggarakan oleh Masyarakat Adat Yoboi pada bulan Mei tahun ini. Di Yoboi, Masyarakat Adat juga memiliki unit pengolahan sagu skala kecil serupa dan menerima pelatihan tentang hilirisasi dan pemasaran sagu berkelanjutan.
Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor-Leste, Rajendra Aryal, memuji festival ini sebagai perayaan bagaimana inovasi dan tradisi dapat berjalan beriringan. Meski mesin telah mempercepat produksi sagu, aturan adat memastikan keberlanjutan jangka panjang dengan mewajibkan hanya pohon sagu dewasa yang dipanen, pohon baru ditanam untuk setiap pohon yang dipanen, dan mesin dioperasikan secara berkelanjutan untuk menghindari eksploitasi.
“Inovasi hilirisasi sagu di Sentani menawarkan peluang baru bagi Masyarakat Adat untuk meningkatkan produksi, nutrisi, dan mata pencaharian mereka, tanpa mengabaikan pengetahuan dan nilai-nilai tradisional mereka yang telah lama menjaga keseimbangan ekologi Papua. Model pendekatan dari bawah ke atas dalam bekerja dengan Masyarakat Adat ini diharapkan dapat menginspirasi komunitas lain di seluruh Indonesia,” kata Rajendra.***(rls)