Riauterkini - TELUKKUANTAN - Tokoh masyarakat Kuantan Singingi, juga mantan anggota DPRD Riau, Mardianto Manan, meminta Pemerintah Daerah mengkaji ulang terkait wacana relokasi sebagian warga eks Taman Nasional Teso Nilo (TNTN) ke Kuantan Singingi.
"Sebagai warga Kuantan Singingi, saya memberikan tanggapan serta masukan dari aspek hukum, sosial, dan budaya lokal agar kebijakan ini benar-benar adil dan berkeadaban," ujar Mardianto Manan Rabu (24/12/2025).
Mardianto menyatakan keberatannya terhadap kebijakan tersebut. Ia menilai rencana relokasi perlu dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan hukum, sosial, dan budaya baru di daerah tujuan.
Karaena, wacana relokasi sebagian warga eks Taman Nasional Tesso Nilo ke Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, memicu keresahan di tengah masyarakat setempat. Informasi yang beredar menyebutkan, relokasi tersebut akan dilakukan ke lahan eks PT Duta Palma yang berada di wilayah Kuansing.
Meski demikian, ia menekankan bahwa penertiban tidak boleh dilakukan secara represif semata. Negara, menurutnya, tetap harus mengedepankan asas keadilan sosial dan kemanusiaan dengan menyediakan solusi relokasi yang transparan, adil, dan tidak memicu konflik baru.
Terkait rencana pemindahan ke lahan eks Duta Palma, Mardianto mengingatkan bahwa lahan tersebut berstatus sebagai aset negara bermasalah atau sitaan negara.
Pengelolaannya berada dalam skema penataan ulang agraria dan penyelamatan aset negara, sehingga tidak bisa ditetapkan sepihak oleh pemerintah daerah tanpa kejelasan status hukum dan koordinasi lintas lembaga.
Sebagai solusi, Mardianto meminta pemerintah daerah memprioritaskan lahan eks Duta Palma bagi masyarakat asli Kuantan Singingi, khususnya desa miskin, wilayah sekitar konflik, serta petani kecil yang tidak memiliki lahan.
Ia juga mendorong dibukanya forum terbuka yang melibatkan akademisi, ninik mamak, tokoh agama, pemuda, dan masyarakat adat sebelum kebijakan ditetapkan secara final.
Menurutnya, kebijakan publik tidak hanya bertujuan menertibkan pelanggaran hukum, tetapi juga menjaga martabat, keadilan, dan masa depan masyarakat lokal.
"Jika tidak berpihak dan tidak sensitif terhadap nilai budaya setempat, kebijakan tersebut dikhawatirkan akan meninggalkan luka sosial yang berkepanjangan," katanya.
Bupati Kuansing, katanya tidak bisa serta-merta menentukan lokasi relokasi dan penerimanya tanpa sinkronisasi dengan ATR/BPN, KLHK, Kejaksaan, serta Satgas PKH. Jika aspirasi masyarakat Kuansing diabaikan, maka kebijakan ini cacat secara sosial meskipun tampak solutif.
Dari sisi hukum, Mardianto menyebutkan, bahwa kawasan TNTN merupakan hutan konservasi yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak diperbolehkan untuk aktivitas perkebunan, pemukiman, maupun kegiatan ekonomi permanen.
"Siapa pun yang membuka kebun sawit di kawasan tersebut, baik pendatang maupun warga lokal, merupakan pelanggar hukum," jelasnya.
Kemudian sisi sosial dan budaya, Mardianto menilai masyarakat Kuantan Singingi memiliki kearifan lokal berbasis adat Melayu Kuantan yang menjunjung tinggi tanah ulayat dan keseimbangan ruang hidup.
Ia mengingatkan pepatah lokal, "Jangan dua kali orang buta kehilangan tongkat" yang bermakna masyarakat lokal tidak boleh terus-menerus dikorbankan setelah kehilangan hutan, lahan, dan ruang hidup.
Ia juga menyoroti potensi kerentanan sosial apabila relokasi dilakukan tanpa kajian matang. Beberapa desa, seperti Pesikaian di Kecamatan Cerenti, masih tergolong desa miskin dengan kapasitas ekonomi terbatas. Masuknya kelompok baru yang lebih siap modal dan jaringan dinilai dapat memicu ketimpangan serta konflik horizontal.
"Ini bukan soal suku, tetapi kesiapan struktur sosial dan ekonomi. Jika tidak diantisipasi, konflik sangat mungkin terjadi,” katanya.
Mardianto mempertanyakan kebijaksanaan kebijakan tersebut jika tidak didahului kajian dampak sosial yang komprehensif, tidak memprioritaskan masyarakat asli Kuantan Singingi, serta tidak memperhitungkan daya dukung desa sekitar.
Menurutnya, kebijakan semacam ini berpotensi mengulang pola lama, di mana masyarakat lokal kembali tersisih di tanahnya sendiri.
Ia pun mengajukan sejumlah pertanyaan kritis, mulai dari apakah kebijakan ini benar-benar menyelesaikan persoalan TNTN atau justru memindahkan konflik ke wilayah lain, hingga mengapa masyarakat Kuansing yang telah lama memperjuangkan lahan eks Duta Palma tidak menjadi prioritas utama.*** (Jok)